Kisah Asal Muasal Mapinton di Desa Bugbug Kecamatan dan Kabupaten Karangasem Bali
Setiap 2 tahun sekali tepatnya pada
saat purnamaning sasih kapat, kita temui orang membawa sesaji
berupa guling menuju Pura Gumang, dan pohon-pohon jepun akan seperti lagi musim berbuah guling.
Setiap bayi yang telah lahir di Bugbug, orang luar yang sudah menjadi ‘nyama’
Bugbug
atau yang masih merasa satu panyungsungan akan menjadi suatu kewajiban
melakukan pemintonan di pura Bukit Gumang ini, yaitu dengan salah satu sarana
bebantennya adalah babi guling. Upacara ini bertepatan dengan Aci Gumang Kadulu
Gede.
Terus apakah makna di balik upacara
mepinton ini?
Bila dicari dari arti katanya, mepinton berasal dari Bahasa Jawa
kuno yang berarti ‘mempersaksikan’. Jadi ini bersaksi atas sebuah keberhasilan. Bila kita
kembali lagi ke cerita sejarah pura gumang, dimana setelah Beliau ( Bhatara
Gede ) berhasil membuat sungai di sebelah selatan Bukit Dukuh yang disebut
Tukad Buhu dan masyarakat mengucapkan syukur dan terima kasih dengan berjanji
ngaturang pengaci-aci setiap 2 tahun dan setiap bayi yang lahir baik laki-laki
maupun perempuan wajib ngaturang guling.
Diceritakan untuk mengairi areal
persawahan di desa Pakraman Bugbug, krama desa itu memohon kepada Ida Bhatara Gede
Gumang untuk menciptakan air dan sungai di sebelah barat bukit penyu (Bukit
Dukuh). Jika
permohonan mereka dikabulkan, maka mereka berjanji apabila kelak mereka beranak-pinak akan menghaturkan guling babi
sebagai banten pamintonan untuk setiap kelahiran.
Mendengar keluhan permohonan krama desa,
maka Bhatara Gede segera beryoga memohon kehadapan Bhatara Hyang Tolangkir (Bhatara
Parameswara di Gunung Agung) agar ada aliran sungai di sebelah barat Bukit
Penyu (Bukit Dukuh). Dari yoga beliaulah, diutus Bhatari Giri Putri untuk
meneteskan tirtha amertha dari sebuah kendi manik.
Memenuhi titah Bhatara Parameswara di
gunung Tohlangkir, lalu Bhatari Giri Putri berwujud seorang tua renta dengan
membawa air suci (tirtha amertha) yang di bungkus dengan daun kaumbang (sejenis
daun talas), dengan tujuan menguji kesungguhan orang-orang yang memohon air
tersebut. Saat itu juga muncul seorang perwujudan dewata yang mengikuti
pergumulan dan keluhan dari orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan di
sebuah hutan yang juga sangat mendambakan air untuk kelangsungan hidupnya.
Dengan tidak sabaran mendengar kata-kata dari seorang tua renta (perwujudan
Bhatari Giri Putri) yang seperti bergurau untuk menukar air yang ada diatas
daun kaumbang itu dengan bukakak kebo (kerbau bertanduk emas).
Tak lama kemudian orang tua (perwujudan
dewata) itu lalu merogoh air yang ditaruh di atas sebuah ranting kayu dari
tanaman perdu yang ditaruh oleh orang tua dalam daun kaumbang itu. Ternyata setelah air itu menetes
memerciki tanah, maka muncullah mata air yang sangat besar di sebuah tempat
yang sekarang menjadi Telaga Tista, yang konon berasal dari kata tirtha.
Bhatari Giri Putri segera tahu bahwa orang yang merogohnya itu adalah
perwujudan dewata. Dan karena ketidaksabarannya itu maka ia dikatakan mangkak
yang menjadi junjungan (sasuhunan) di sekitar tempat itu yang dikenal dengan
sebutan Ida Gede
Bangkak (Bhatara Gede Bangkak). Karena yang memohon air itu dan agar menjadi
sebuah sunggi adalah Ida Gede ( Bhatara Gde Gumang ), dan agar tidak membahayakan
sampai di hilir, maka dititahkanlah Ida Gede Bangkak untuk
mempertanggungjawabkan dan mengendalikan perjalanan air itu sampai ke hilir.
Dan sepanjang sungai tempat air itu mengalir yakni Telaga Tista ( Telaga Tirta
) sampai ke laut selatan yang disebut Tukad Buhu.
Dalam perjalanan air itu menuju hilir,
sesampainya di daerah Bongsana, beliau bertemu dengan Bhatara Gede Gumang yang
sedang beryoga di atas sebuah kiskis ( sejenis alat pemangkas rumput di sawah),
lalu Ida Gede Bangkak bertanya kepada Bhatara Gde Gumang. Ida Gede akan
diarahkan kemanakah aliran air ini? Lalu Ida Gede Gumang menunjuk ke sebuah
bukit yaitu Bukit Penyu (Bukit Dukuh) seraya memohon agar air itu mengalir
disebelah baratnya. Maka
dipotonglah bukit yang dianggap menghalangi aliran air untuk ke barat. Potongan
bukit itu menjadi sebuah gundukan di sebelah utara Batu Koek (di Daerah
Bongsana), maka mengalirlah air itu di sebelah barat bukit Penyu (Bukit
Dukuh) sesuai dengan permintaan Ida Gede Gumang. Dan aliran sungai Tukad
Buhu itu bisa juga digunakan untuk meruat mala atau membersihkan segala bentuk
mala kawisyan (segala bahaya yang diakibatkan oleh kekuatan magis/ ilmu hitam).
Dan tempat reruntuhan dari potongan bukit tersebut dinamakan Ngampan Rempak.
Sejarah Pura Bukit Gumang
Pura
Bukit Gumang merupakan Pura Kahyangan Jagat di bagian Tenggara, yang diempon
dan disiwi oleh lima Desa Pakraman yang dikenal dengan Manca Desa. Desa-desa
tersebut adalah: Desa Pakraman Bugbug sebagai pangempon utamanya, dan yang
didukung oleh; Desa Pakraman Bebandem, Desa Pakraman Datah, Desa Pakraman
Jasri, dan Desa Pakraman Ngis di Kabupaten Karangasem.
Pura
ini sudah berdiri sejak zaman Bali Kuna, yakni pada tahun saka 11 (rah candra
tĂȘng bumi, isaka eka tang bumi). Berdasarkan penelitian Pura Bukit Gumang ini
berawal dari Bhatara Sang Hyang Sinuhun Kidul yang mulanya berstana di Pura
Bukit Huluwatu, merupakan Putra mahkota dari Bhatara Hyang Purasadha, kemudian
mempersunting Putri Bhatara Gede
Sakti di Pura Bukit/Gili Byaha yang bernama Dewa Ayu Mas. Setelah beliau
ardhanareswari (dampati) beliau juga disebut Bhatara Gde Sakti. Kemudian beliau
menuju Ukir Gumang di Desa Pakraman Bugbug disebut Bhatara Gde Gumang. Ketika
menuju Ukir Gumang beliau membawa tattwa usadha dan tattwa kadyatmikan bersama-sama
dengan Bhagawan Cakru, Bhagawan Manggapuspa, Mpu Sewa-sogata (Siwa-Budha), yang
hingga kini beliau berstana di Pura Ukir Gumang yang lebih dikenal dengan nama
Pura Bukit Gumang.
Bhatara
Gde Gumang dikisahkan mempunyai ”Putra dan Putri” antara lain; yang sulung
adalah Bhatara Gde Manik Sakti, kemudian Bhatara Ayu Made, Bhatara Ayu Pudak,
Bhatara Ayu Nyoman, dan Bhatara Ayu Ktut. Bhatara
Gde Manik Sakti dan Bhatara Ayu Made berstana di Pura Puseh Desa Pakraman
Bebandem. Bhatara Ayu Pudak yang juga dikenal dengan sebutan Dewa Ayu Mas
Prasi berstana di Pura Puseh Desa Pakraman Datah. Bhatara Ayu Nyoman
berstana di Pura Mastima Desa Pakraman Jasri. Dan Bhatara Ayu Ktut berstana di Pura
Puseh Desa Pakraman Ngis.
Upacara
piodalan di Pura Bukit Gumang dikenal dengan Usabha Kadulu atau Haci Kadulu
yang digolongkan menjadi dua yaitu :
1)
Usabha/haci Kadulu
Cenik adalah merupakan upacara piodalan alit (kecil), yang dilaksanakan pada
hari purnamaning sasih kapat (kartika) sajeroning penanggal ping 13, 14, 15, nuju
tri wara beteng (wahya) setiap tahun ganjil.
2)
Usabha/haci Kadulu
Gede adalah merupakan upacara piodalan ageng (besar), yang dilaksanakan pada
hari purnamaning sasih kapat (kartika) sajeroning penanggal ping 13, 14, 15,
nuju tri wara beteng (wahya) setiap tahun genap.
Hal-hal
yang unik pada saat usabha/haci kadulu gede (piodalan ageng), adalah :
1. Nguntap
ngulemin para Dewa/Bhatara-Bhatari di Manca Desa, seperti; Bugbug, Bebandem,
Datah, Jasri, dan Ngis.
2. Adanya prosesi upacara mabyasa, yaitu rangkaian upacara
mengusung dan menarikan jempana/joli-joli usungan para Dewa dan mempertemukan
Bhatara Gde Gumang dengan Bhatara Gde Manik Sakti (Putra Mahkota).
3. Upacara
ngaturang banten pujawali secara bersama-sama dengan para Pemangku/Prajuru
Dulun Desa dari Desa-desa Pakraman Manca Desa.
4. Upacara nyaik nasi palupuhan, yaitu suatu rangkaian acara
makan bersama tanpa membeda-bedakan asal-usul, trah/ras/klen dari para
pengiring/pengusung/pemundut/pemedek, yang digelar disepanjang halaman natar
Bale Agung di Pura Bukit Gumang.
5. Upacara mapinton, yaitu suatu upacara ngaturang banten
pamintonan berupa pejati yang berisi babi guling, yang merupakan ungkapan rasa
bhakti dan bukti kesetiaan akan janji atas amanah serta anugrah yang telah
dilimpahkan.
Pelingih-pelinggih
utama yang ada di luhur Pura Bukit Gumang, adalah; Pelinggih gaduh maprucut
sebagai stana Bhatara Gde Gumang. Pelinggih gaduh
rong kalih sebagai stana Bhatara Istri. Pelinggih meru tumpang tiga sebagai
stana Bhatara Tri Purusa. Pelinggih sanggar agung sebagai stana Sanghyang
Luhuring Akasa. Kosepsi berdirinya Pura Bukit Gumang adalah; konsepsi
rwabhineda dan sad kertih.